Rabu, 16 Desember 2015

Bertanding Catur dalam Gelap

Suasana hening menyelimuti ruangan lantai dua gedung Student Center Universitas Sebelas Maret  (UNS), Senin, (14/12). Dua orang peserta duduk saling berhadapan dengan sebuah papan catur berada di depan mereka. Sekilas tak ada yang aneh dalam pertandingan catur ini, dua orang juri duduk persis di samping mereka. Kemudian, mempersilakan mereka untuk memulai pertandingan. Bukan dengan saling menatap sinis seperti yang sering dilakukan pada pertandingan catur yang biasa dilihat, bukan juga dengan jeli memperhatikan gerak-gerik lawan. Namun, mereka memulai pertandingan catur itu dengan meraba buah-buah catur yang tertancap di atas papan catur khusus Tunanetra.

Tangan Wahyu, seorang Tunanetra yang merupakan siswa SMA 8 Surakarta, dengan penuh konsentrasi, mulai meraba dan memindahkan salah satu pion catur yang telah berjejer rapi di barisan depan. Sama seperti Wahyu, Imam Budi, mahasiswa Pendidikan Luar Biasa Universitas Negeri Yogyakarta angkatan 2014, berfikir keras untuk sekadar memindahkan menteri-nya. Sesekali ia tersenyum sambil meraba buah-buah catur yang tersususun di atas papan catur khusus Tunanetra tersebut.
     Beginilah cara ia dan juga para peserta lain mengamati permainan catur mereka. Sensitivitas telapak tangan beserta jari-jemarinya menjadi faktor utama dalam memainkan catur Tunnanetra ini.

Wahyu, Imam Budi dan duabelas orang lainya merupakan peserta pertandingan catur Tunanetra yang diselenggarakan oleh Himpunan Mahasiswa Program Studi Pendidikan Luar Biasa (HMP PLB) UNS dalam rangka memperingati hari Difabel Internasional. Para peserta telah berada di ruang lantai dua gedung Student Center UNS pada pukul 10.00 WIB hari itu. Mereka didampingi oleh orang tua atau guru mereka yang setia berada di samping mereka sebelum pertandingan dimulai.
Pukul 11.00 WIB pertandingan dimulai, Sunoto, yang merupakan ayah dari Imam Budi, salah satu peserta peertandingan catur, terus memperhatikan putranya dari jarak tiga meter. Terlihat sesekali ia mengerutkan dahinya, lalu tersenyum, seolah ia ikut serta dalam permainan putranya itu. Begitu pula dengan orang tua maupun guru dari peserta lain. Mereka turut antusias melihat putra-putri maupun anak didiknya bertanding.
Pukul 15.30 WIB, pertandingan selesai dan mereka mulai meninggalkan area pertandingan catur tadi. Hadiah untuk para pemenang akan dibagikan bersamaan dengan acara “The Greatest Di-dy” yang akan digelar HMP PLB di Gelora Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UNS, pada Rabu, 16 Desember 2015. “Hari rabu dateng lagi ya,” ujar Iin, mahasiswa Pendidikan Luar Biasa (PLB) UNS angkatan 2015, kepada para peserta yang berjalan keluar gedung. Beberapa ada yang hanya menganggukan kepala, namun ada juga yang menjawab “iya,” dengan nada setengah teriak.
Mereka semua terlihat gembira, yang menang tersenyum, yang kalah pun tersenyum. Bukan karena Trophy, sertifikat dan sejumlah uang yang menjadi hadiah pertandingan catur ini. Namun, mereka senang karena telah diberi ruang dalam minat dan bakatnya dalam bermain catur. Seperti yang diungkapkan oleh Amri, mahasiswa PLB UNS angkatan 2014 dan merupakan ketua panitia acara ini, “ Mereka bukanlah disabilities (tidak berkemampuan) melainkan mereka adalah difabilities (berbeda kemampuan), mereka hanya butuh ruang untuk  perbedaan mereka bukan ruang untuk dibedakan”.